Pages

Selasa, 13 Januari 2015

RINDU: Kisah Perjalanan Penuh Nasehat Indah


Judul Buku : Rindu

Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika

Cetakan : I, Oktober 2014


Novel pertama yang saya selesaikan di tahun 2015 ini adalah salah satu novel karya penulis idola saya – Tere Liye, yang berjudul Rindu. Konon, novel ini sudah 4 kali cetak ulang padahal baru dua bulan terbit. Wow!


Tere Liye menurut saya salah satu penulis yang amat konsisten pada misinya dalam menulis. Sejauh ini, tidak satu pun karyanya yang tak menyelipkan pesan-pesan kebaikan dan nilai kebijaksanaan hidup.  Salah satunya adalah novel Rindu ini.

Rindu bercerita tentang perjalanan haji yang amat luar biasa. Kenapa luar biasa? Karena perjalanan haji yang diceritakan di sini bukan perjalanan haji seperti yang saat ini kita lihat, melainkan perjalanan haji yang dilakukan pada tahun 1938. Perjalanan yang memakan waktu yang tidak sebentar – berbulan-bulan. Perjalanan yang tidak menggunakan pesawat terbang dengan berbagai kenyamanan dan fasilitas mewah, melainkan menggunakan kapal uap – mengarungi samudra luas, dengan berbagai keterbatasan. Perjalanan haaji yang dilakukan oleh rakyat Indonesia saat masih berstatus sebagai bangsa terjajah.

Ahmad Karaeng yang merupakan seorang ulama besar pada masa itu turut serta dalam kapal Blitar-Holland yang dikomandoi oleh Kapten Phillips itu, untuk menunaikan rindunya pada tanah suci untuk kesekian kalinya. Ahmad Karaeng yang biasa dipanggil dengan sebutan Gurutta adalah seorang ulama kharismatik dan bijak yang amat dicintai oleh seluruh rakyat Makasar, Gowa dan sekitarnya. Bahkan saking kharismatiknya, para kompeni Belanda yang ditugaskan untuk mengawal kapal Blitar-Holland demi memastikan seluruh penumpang tetap patuh pada pemerintahan Hindia-Belanda, menjadikan Gurutta Ahmad Karaeng sebagai target utama untuk diawasi setiap gerak-geriknya. Peran Gurutta sangat sentral dalam novel ini. Beliau menjadi pemimpin rombongan jamaah haji Blitar-Holland dalam menjalani keseharian di kapal yang tidak hanya memakan waktu satu-dua hari saja. Selain itu, Gurutta juga menjadi orang yang menjawab berbagai pertanyaan tentang hidup yang bergelayut di benak beberapa penumpang.

Salah satu penumpang yang mempunyai pertanyaan besar adalah Daeng Andipati. Daeng Andipati seorang pedagang sukses pada jaman itu. Ia tidak sendirian dalam perjalanan ini, melainkan mengajak serta istrinya, dua putrinya yang amat pintar dan disenangi hampir seluruh penumpang – bernama Anna dan Elsa, serta Ijah – pembantu rumah tangganya. Di mata banyak penumpang, keluarga Daeng Andipati sangat ideal. Ia punya alasan sempurna untuk bahagia. Tapi kenyataannya, Daeng Andipati tidak pernah benar-benar merasa bahagia lantaran hatinya masih di rongrong rasa sakit hati dan dendam pada tingkah laku ayahnya di masa lalu. Bahkan meskipun ayahnya telah meninggal, rasa sakit hati tak sedikitpun berkurang dari hati Daeng Andipati.

Daeng Andipati resah atas perasaan tersebut. Lalu ia bertanya pada Gurutta Ahmad Karaeng, mungkinkah ia menginjakkan kaki di tanah suci dengan membawa kebencian sebesar itu? Bagaimana menghilangkan kebencian yang sebegitu besar dan telah mengendap sekian lama dalam hati? Dengan kalimat-kalimat yang amat bijak, Gurutta pun menjawab pertanyaan tersebut dengan sebuah nasehat yang teramat indah.

Penumpang yang juga membawa pertanyaan besar adalah Bonda Upe – seorang wanita mualaf keturunan. Ia punya masa lalu yang amat kelam, dan nisa di mata masyarakat umum kebanyakan. Ia selalu dihantui ketakutan dan perasaan minder. Ia takut orang-orang akan mencemoohnya jika tahu tentang masa lalunya. Ia juga bertanya-tanya, apakah Allah akan menerima seorang wanita dengan masa lalu nista seperti dirinya di tanah suci? Lagi-lagi Gurutta menjawabnya dengan nasehat yang amat indah – yang paling saya sukai dalam novel ini. Inti nasehat itu ada tiga. Pertama, jangan pernah lari daari kenyataan hidup. Terima dengan lapang dada, dan hadapi. Kedua, jangan pernah resah atas penilaian orang lain, karna orang lain hanyak melihat bagian luarnya saja. Ketiga, selalu berbuat baik, dan berharap semoga perbuatan baik kita menjadi perantara atas ampunan Allah yang Maha Luas. (Hal. 311-315)

Selain Daeng Andipati dan Bonda Upe, masih ada beberapa penumpang lagi yang membawa pertanyaan hidup masing-masing. Bahkan tak terkecuali Gurutta Ahmad Karaeng sendiri. Selain diwarnai banyak pertanyaan tentang hidup, perjalanan kapal Blitar-Holland juga diwarnai banyak rintangan. Diantaranya adalah seorang penyusup kapal yang berusaha membunuh Daeng Andipati – yang ternyata adalah orang yang amat dendam pada ayah Daeng Andipati. Lalu Gurutta Ahmad Karaeng yang ditangkap oleh para Tentara Kompeni dan dimasukkan ke penjara kapal, lantaran mereka menemukan buku yang ditulis oleh Gurutta – yang berjudul “Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa” yang dianggap sangat membahayakan pemerintahan Hindia-Belanda. Dan cobaan berikutnya, yang menjadi rintangan paling serius adalah saat Kapal Blitar dibajak oleh Perompak Somalia – yang sempat memancing pertikaian sengit antara para penumpang dan komplotan perompak.

Seperti novel Tere Liye yang lainnya, setelah sampai di halaman terakhir saya  dibuat menghela nafas panjang lalu merasakan perasaan lapang yang unik. Saya seperti mendapatkan vitamin agar lebih bijak menghadapi liku terjal kehidupan. Hanya saja, jujur saja saya sempat dihinggapi rasa jenuh saat membacaanyaa. Pasalnya, sebagian lebih dari isi novel ini menceritakan tentang kehidupan di dalam kapal selama perjalanan. Aktivitas makan di kantin bersama, jamaah di masjid kapal, anak-anak mengaji, anak-anak mengaji dan sekolah, adalah adegan-adegaan yang terus berulang. Meskipun begitu, tetap saja nasehat-nasehat yang ada dalam Novel Rindu ini membuat novel ini sangat layak untuk di baca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar