The Mocha Eyes bercerita tentang seorang gadis
bernama Muara yang memiliki trauma atas beberapa kejadian menyakitkan dalam
hidupnya, hingga membuatnya berubah menjadi gadis yang amat menutup diri.
Kejadian menyakitkan itu diantaranya adalah mengalami pelecehan seksual oleh
rekan kampusnya, hingga membuatnya harus mengambil cuti dalam waktu cukup lama
dari kuliahnya. Muara semakin dihimpit rasa bersalah tak berkesudahan ketika ayahnya
harus pergi untuk selamanya karna shock mendengar kabar menyakitkan tentang
anak gadis satu-satunya itu. Satu lagi hal yang membuat dunia Muara semakin
muram adalah ketika Damar – lelaki yang ia cintai tiba-tiba berpaling pada wanita
lain, dengan alasan sikap Muara yang selama ini teramat dingin dan kaku.
gb. diambil dari sini
Judul
: The Mocha Eyes
Penulis : Aida M.A
Penyunting : Laurensia Nita
Penerbit : Bentang
Tahun Terbit : 2013
Tebal Buku : x+250 halaman
Penulis : Aida M.A
Penyunting : Laurensia Nita
Penerbit : Bentang
Tahun Terbit : 2013
Tebal Buku : x+250 halaman
Hari-hari Muara yang suram hanya bertemankan rokok
dan kopi hitam pekat, yang membuatnya mampu membuka mata meski baru mampu
memejamkan mata diatas pukul tiga dinihari. Kebiasaan itu amat sulit ia hentikan
meski ibunya tak henti menasehatinya. Tapi pertemuannya dengan Fariz – seorang trainer,
saat ia mengikuti training motivasi dari kantornya merubah sedikit demi sedikit
cara pandangnya atas hidup, melalui perumpamaan hidup dengan dalam secangkir
mocha.
Menurut saya, novel ini tergolong sebagai perpaduan yang manis antara novel romance dan novel
inspiratif. Bahasanya yang ringan dan mudah dipahami, dengan
selipan quote-quote manis tentang kehidupan menjadikan novel ini sangat cocok
dijadikan teman menyesap kopi dikala senja. Aida MA berhasil menyajikan sebuah cerminan
hidup manusia yang seringkali diwarnai banyak kejadian tidak menyenangkan, yang
harusnya tak menjadikan kita lantas jatuh dan merusak diri sendiri. Sempat
merasa lemah dan rapuh itu manusiawi, tapi kita tak boleh terus-terusan
membiarkan diri berada dalam kubang kesedihan tak berujung. Begitu kira-kira
hikmah yang bisa diambil dari kisah Muara ini.
Namun, sebuah karya hasil tangan manusia tentu
saja sangat lazim memiliki kekurangan. Saya pun mencatat beberapa kekurangan
dalam novel The Mocha Eyes. Saat membaca lembar demi lembarnya, saya merasa
penggambaran perasaan para tokoh terutama Muara kurang mengena. Saya kurang
bisa merasakan betapa terpukulnya Muara setelah kejadian pelecehan tersebut. Kejadian
tersebut seperti terlalu tiba-tiba, tanpa ada bagian yang menggiring dengan
manis sampai akhirnya terjadilah pelecehan tersebut. Saya juga tidak bisa turut
merasakan betapa Muara sangat mencintai Damar hingga membuatnya amat lama tak
bersedia membuka hati. Dan satu lagi, Fariz yang merasa sudah berkali-kali bertemu
Muara melalui baying-bayang siluet juga menurut saya membuat novel ini kurang
natural.
Tapi kekurangan adalah salah satu lading untuk
belajar. Ketika tak lagi ada kekurangan, jangan-jangan seseorang malah akan
enggan belajar dan sudah merasa puas atas pencapaiannya. Maka, saya tetap
berharap Aida MA tidak berhenti menulis, dan menelurkan karya-karya yang
semakin bagus dari hari ke hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar