Pages

Selasa, 29 April 2014

Temui Aku di Surga: Intrik, Persahabatan dan Cinta

Tak mungkin mengentas rindu,
jika hanya menunggu
Kau mungkin inginkanku
Hatimu terpaut padaku
Ingin bersama selalu
Tak jarang terkenang dalam sendu
Berhasrat mengejarku, meraihku, menahan langkahku
Mengulang masa indah hari lalu
Dan kau tahu itu impian palsu
Di dunia ini, tak mungkin lagi kau genggam tanganku
Merengkuh bahuku
Tertawa bersamaku
Maka doakanlah di syurga kelak aku berada
Kutunggu kau di sana
Usah gelisah gelayuti jika
Hanya satu janji saja
Temui aku di syurga

oOo
Judul : Temui Aku di Syurga
Penulis : Ella Sofa
Penerbit : Quanta-Elexmedia
Tahun : 2013

Novel “Temui Aku di Surga” bercerita tentang dua orang pemuda bernama Yudho dan Malik yang bersahabat baik. Lewat persahabatan, mereka berdua membangun mimpi-mimpi masa depan. Mereka memulai langkah menjemput mimpi tersebut dengan bekerja sama mendirikan sebuah kios kaca. Malik punya modal, dan Yudho punya keahlian.

Seperti kebanyakan anak muda, Yudho dan Malik juga punya sisi idealisme. Terutama dalam memandang masalah-masalah berbau politis. Pejabat desa yang “itu-itu saja”, pembangunan jalan yang tidak pernah beres, kemajuan desa yang tampak nihil, dan berbagai masalah lain diam-diam menggelitik hati mereka. Dan siapa sangka, Malik tiba-tiba mengungkapkan keinginannya menjadi kepala desa pada sahabatnya, Yudho. Yudho terkejut, tapi tak urung dia pun sangat mendukung mimpi teman terbaiknya itu.

Tapi apa boleh buat. Manusia memang memiliki hak penuh untuk merangkai mimpi-mimpi kehidupannya. Tapi di atas segalanya, ada Allah yang Maha berhak untuk menyeleksi mana saja impian yang layak mendapat ACC-Nya, dan mana yang tidak. Termasuk Malik. Di tengah mimpi mulianya menjadi pemimpin desa yang jauh lebih amanah, Izrail justru mendekapnya melalui sebuah kecelakaan (tak) disengaja.

Dan Yudho serta Bapak-Ibu Malik, hanya bisa tertunduk sedih, berusaha melapangkan hati menerima suratan yang amat menyesakkan dada itu. Tapi hidup harus tetap berjalan. Sesakit apapun, Bapak-Ibu Malik serta Yudho yang dengan setia menemani mereka melewati masa sedih harus kembali bangkit. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Ketika semuaanya sudah mulai kembali berjalan normal tanpa kehadiran Malik, tiba-tiba Yudho dihampiri kesempatan untuk melanjutkan mimpi sahabatnya yang terhalang oleh ajal. Oleh para sesepuh kampong, ia di percaya untuk “nyalon” kepala desa. terkejut? Tentu saja! Yudho tak lebih dari seorang pemuda anak orang tak punya, hingga keinginan kuliah pun terpaksa ia lipat dibawah bantalnya. Dan kini tiba-tiba ia ditawari untuk menjadi kandidat orang nomor satu di Desa Randu Asri, tanah tumpah darahnya? Bahkan mereka para sesepuh kampong tak hanya bersedia menyokong spirit, tapi juga materi.

Ya, bukankah sudah jadi rahasia umum kalau “nyalon” kepala desa itu membutuhkan modal besar?! Dan darisinilah konflik utama novel ini muncul. Berbagai intrik licik, dan “kesibukan” dalam rangka  usaha memenangkan diri di paparkan dengan sederhana namun mengena. Namun bagaimanapun, kebenaran memang selalu menemukan jalannya sendiri untuk muncul di permukaan. Begitu pun dengan ending novel ini.
 oOo

Novel ini sangat cocok untuk orang-orang yang suka “to the point”, tidak berbelit-belit, dan tidak banyak narasi yang memang tidak perlu. Singkat, padat dan jelas. Meski di sisi lain, jadi seperti ada kesan “tergesa-gesa” dalam pengerjaannya. Penulis juga berhasil menyajikan sisi kedaerahan yang kental dan natural. Selain itu, konflik yang dimunculkan berkaitan dengan pencalonan Kepala Desa juga tidak terkesan dibuat-buat dan berlebihan. Saya seperti benar-benar merasakan ketegangan dalam situasi genting menjelang pemilihan, juga saat kecurangan-kecurangan mulai terungkap.

Namun, sesempurna apapun manusia berkarya, pastilah tak luput dari kekurangan. Begitupun dengan novel Temui Aku di Surga ini. Saya merasa kejadian yang dijadikan titik balik bagi tokoh Malik terasa kurang ‘nendang’ dan terkesan kurang natural. Selain itu, kisah cinta antara Malik dan Hesti juga terasa agak dipaksakan dan agak kurang mengena kesan ‘romance’-nya.

Sekali lagi, tidak akan ada kata sempurna bagi karya manusia. Terlepas dari beberapa kekurangan novel ini, saya amat salut pada penulis yang mengangkat tema yang tidak pasaran di tengah merebaknya novel bertema kisah cinta ‘kacangan’. Novel ini seperti membuka mata para pembacanya, bahwa kecurangan dalam sebuah pemilihan umum telah menjadi realita menyedihkan sampai tingkatan terbawah (desa) sekalipun. Terakhir, saya amat berharap penulis terus berkarya dan mengangkat tema-tema yang tidak biasa seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar