Judul: Negeri di Ujung Tanduk
Penulis: Tere Liye
Penerbit: GPU
Terbit: April 2013
Tebal: 360 Hal
Akhirnya bisa baca Negeri di Ujung Tanduk, setelah lebih dari setahun lalu baca prekuelnya. Yup, Negeri di Ujung tanduk ini adalah sekuel dari novel Negeri Para Bedebah. Sayangnya dulu saya belum punya blog buku, jadi ya nggak bikin resensinya L. Jangankan blog buku, kepikiran buat nulis review setelah baca buku aja blas nggak pernah kepikiran waktu itu.
Negeri di Ujung tanduk masih tetap bercerita tentang si pemuda brilian bernama Thomas – dengan segala idealismenya, Opa dengan segala nasehat tentang kebijaksanaan hidupnya, Kadek dengan kesetiaannya mengabdi dan Rudi dengan kesetiakawanan seorang petarung sejati. Bedanya, konfilk utama Negeri Para Bedebah bercerita tentang Thomas yang ‘memperjuangkan’ bail out untuk Bank Semesta milik Om Liem, Negeri di Ujung Tanduk ini lebih focus ke soal politik sebagai inti dari berbagai konfliknya.
Thomas memutuskan membuka unit politik di peruahaan konsultan miliknya. Dan salah satu yang menjadi klien politik paling pentingnya adalah salah satu kader partai paling berkuasa dengan inisial JD. JD digambarkan sebagai seorang politikus yang punya idealisme – yang membuat Thomas merasa harus membantunya menuju RI 1, apapun tantangannya. JD juga diceritakan pernah menjabat sebagai walikota dan gubernur terbaik.
Namun, seperti kita ketahui, dunia politik adalah dunia yang penuh intrik. Terlebih bagi orang-orang yang punya idealisme dan tekad untuk menegakkan hukum setegak-tegaknya seperti JD, maka akan banyak sekali orang yang merasa kepentingannya terancam dan siap menjegalnya dengan cara apapun. Hal itulah yang terjadi pada JD. Sehari menjelang digelarnya konvensi pemilihan kandidat capres digelar, ia ditangkap dengan tuduhan korupsi megaproyek bernilai milyaran rupiah saat ia masih menjabat sebagai Gubernur. Sedangkan Thomas – konsultan politik handalnya dijebak saat ia berada di Hongkong dengan tuduhan kepemilikan senjata berbahaya dan obat-obatan terlarang. Bermula dari situlah pertarungan-pertarungan di mulai.
Thomas yang akhirnya bisa meloloskan diri dari Hongkong berkat bantuan lawan bertarungnya. Disusul penangkapan yang dikomandoi langsung oleh orang nomor tiga di kepolisian, lalu berhasil meloloskan diri berkat bantuan Rudi, dan akhirnya bisa hadir di acara konvensi pemilihan kandidat capres dan mampu membuat suara untuk JD tetap utuh tak tergoyahkan. Berkat bantuan tenaga IT di kantor konsultannya juga, ia mampu memetakkan nama-nama yang bisa ia jadikan bidak untuk membalik keadaan. Ia mengajukan 3 nama pada KPK – yang merupakan tokoh penting partai yang paling keras menyuarakan agar JD didiskualifikasi dari kandidat capres, terkait kasus korupsi pembangunan gedung olahraga beberapa tahun silam – dengan saksi kunci yang tak terbantahkan. Namun sayang, pihak lawan terlalu kuat untuk dilumpuhkan begitu saja. Dan Thomas harus menghadapi tantangan yang berkalilipat lebih menggentarkan keberanian.
Lalu bagaimana kelanjutannya? Duh, saya terlalu bingung bagaimana menjabarkannya. Lebih baik baca sendiri deh, biar bisa menikmati langsung sensai tegang yang bikin saya sampe kebawa-bawa mimpi dan akhirnya terbangun jam 12 malem untuk menyelesaikan baca novel itu – saking penasarannya. Hihi.
Emm, overall… saya selalu suka sama karyanya Tere Liye (saya sadar ini sudah masuk ranah fanatic, jadi saya kurang bisa objektif). Selalu ada sensasi tersendiri baca karya beliau. Tegang, sesak, haru, lalu lega bercampur dan muncul silih berganti. Yang selalu bikin saya salut sama Tere Liye adalah komitmennya untuk selalu menyisipkan nasehat kebijaksanaan hidup di setiap karyanya – termasuk dalam novel Negeri di Ujung Tanduk ini.
Tapi saya juga harus mengakui, ada sedikit kekecewaan saat membaca novel ini. Saya merasa lebih puas dengan prekuelnya – Negeri Para Bedebah, yang membahas collapsnya Bank Semesta. Menurut saya terasa sekali Tere Liye lebih menguasai teori-teori soal ekonomi dibanding soal politik. Teori-teori politik yang dipaparkan dalam novel ini terlihat seperti ‘amatiran’. Apalagi saat diceritakan Thomas sedang menjadi salah satu pembicara di sebuah acara konverensi politik di luar negeri. Menurut saya yang disampaikan Thomas terlalu sederhana untuk membuat audiens dari berbagai Negara terperangah kagum saat mendengarnya. Polanya juga tertebak sekali dalam novel ini. Menemui kesulitan, lalu mendapat bantuan. Menemui kesulitan baru lagi, lalu mendapat bantuan lagi. Pola itu terjadi berulang-ulang sehingga bikin cerita lumayan tertebak, meskipun darimana datangnya bantuan tetep bikin ngerasa surpraise.
Anyway… Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk ini tetap saja novel yang amat menarik buat saya. Hemat saya, dua-duanya PASTI terinspirasi dari kondisi Negeri kita tercinta ini. Negeri Para Bedebah terinspirasi kasus Bank Century, sedangkan Negeri di Ujung Tanduk terinspirasi dari carut marut kondisi politik Negeri. Itu dugaan saya lho, ya. Saya belum nanya langsung sih ke Bang Tere. Hehe. Yang pasti, baca dua novel itu seperti belajar banyak hal secara nggak langsung. Di Negeri Para Bedebah saya belajar tentang beberapa teori dan kebijakan perbankan, sedangkan di Negeri di Ujung Tanduk saya jadi punya bayangan tentang ‘mengerikannya’ intrik politik itu. Saya juga jadi bertanya-tanya, apa benar intrik politik di negeri kita ini semengerikan itu? Ah, tapi saya berharap ada pemuda secemerlang Thomas di negeri ini :)