Saat baru akan memulai membaca novel London ini, saya sedikit deg-degan. Pertama, karna ekspekstasi saya sudah lumayan cenderung tinggi gegara sudah cukup sering baca review novel karya Windry Ramadhina yang banyak menuai puja-puji. Yup! Ini pertama kali saya baca karyanya beliau.
Nah, saya beberapa kali merasa
kecewa kalo sudah masang ekspektasi tinggi atas sebuah buku gitu, saya jadi
underestimate di bab-bab awal novel London ini. apalagi temanya (lagi-lagi) soal
jatuh cinta sama sahabat. Saya juga sempat
bertanya-tanya di mana istimewanya, sih? Yah, tapi ternyata saya nggak boleh
begitu saja ‘menghakimi’ novel ini sebelum saya benar-benar menuntaskannya
hingga halamn terakhir.
Dan, taraaa… seiring
halaman demi halaman yang saya lampaui, saya seperti di hipnotis
perlahan-lahan, lalu benar-benar hanyut pada kisah ‘pengejaran cinta’ Gilang
atas Ning hingga ke London itu. Nggak tahu, ya… kok saya bisa sebegitu
terbawanya sama perasaan Gilang. Padahal kalo boleh jujur, London bukan tipe
novel yang selama ini sering menjadi pilihan saya. Saya benar-benar seperti
turut merasakan resahnya Gilang yang sama sekali nggak mampu melihat ‘petunjuk’
dari sikap Ning atas perasaannya padanya, frustasinya Gilang yang galau antara
ingin memiliki Ning tapi juga takut kalo justru nanti harus kehilangan Ning,
juga sesaknya saat ia akhirnya mampu menangkap dengan jelas perasaan Ning.
Yang istimewa – menurut
saya – meskipun konflik utama dalam novel ini cenderung mainstream, tapi ada konflik lain yang membuatnya jadi sama sekali
nggak mainstream. Apalagi kalo bukan
‘kehadiran’ si gadis goldilocks pemilik payung merah yang menjadi ‘wasilah’
beberapa keajaiban cinta beberapa tokoh dalam novel ini. Agak nggak logis sih,
tapi sama sekali nggak bikin jadi nggak menarik, justru membuat sangat menarik
dan penasaran. Yang menarik lagi dari London, penulis nggak cuma menyajikan
satu cerita – tentang Gilang dan Ning – saja, tapi juga menyuguhi kita dengan
cerita-cerita sisipan yang nggak kalah menarik dengan cerita utama. Salah
satunya adalah cerita tentang Mr. Lowesley dan Madam Ellin. Dan asal tahu saja,
ending London tu simple, nggak
‘drama’, tapi sama sekali nggak terduga dan sangat keren. Hihi, suka pokoknya!
Kalaupun ada kekurangan
yang saya catat dari novel London ini, sama sekali bukan dari dalam novel ini
sendiri, tapi semata karna pribadi saya sendiri. Yup! Saya memang cenderung
kurang nyaman saat membaca novel yang gaya hidupnya kebarat-baratan gitu.
Alcohol, kissing, dll. Tapi di sisi
lain saya sadar harus mulai membuka wawasan bacaan saya lebih luas lagi –
dengan nggak cuma berkutat sama genre yang ‘gitu-gitu’ aja. Oh ya, saya juga
cukup dibikin pusing sama istilah-istilah soal seninya dan nama-nama penulis legendaris
yang asing di telinga saya. Haha, salah
sendiri aku kuper!
Intinya, novel London sama
sekali nggak bikin saya kecewa, dan membuat saya ingin ‘mencicipi’ karya-karya
Windry Ramadhina yang lainnya. Emm, oh ya… tambahan sedikit, saya paling nyesek
di bagian ketika Gilang menvadari bahwa Ning ternyata bermalam di The Piper,
dan saat Ning berkata, “Aku beruntung
dicintai sahabatku”.