Pages

Senin, 27 Januari 2014

Ranu, Saat Hati Menemukan Cintanya: Perjalanan Menyembuhkan Luka Kehilangan

Judul Buku : Ranu, Saat Hati Menemukan Cintanya  
Penulis : Ifa Avianty & Azzura Dayana 
Penerbit: Quanta - Imprint Elex Media Komputindo, 2013 
Jumlah Halaman : 305 + IX 
ISBN :  978-602-02-1267-8


Ranu. Novel ini bercerita tentang 3 tokoh sentral novel yang ke-semuanya pernah mengalami kehilangan orang tercinta yang menorehkan luka cukup dalam. Ayuni yang biasa disapa Ay, gadis pecinta alam yang sebenarnya amat rapuh, namun berusaha menutupi kerapuhannya itu dengan sikap jutek, cuek, galak, dll. Ia masih belum juga mampu membuat luka kehilangan Abang tersayangnya benar-benar sembuh.

Lalu Irene (dibaca Airin). Sepupu Ay yang biasa disapa Ai. Dengan berbagai sifat yang bagaikan langit dan bumi, mereka justru menjadi dua orang yang saling melengkapi. Mungkin karna Irene juga pernah merasakan dalamnya luka kehilangan, saat ia harus merelakan suaminya yang pergi dengan amat mendadak.

Lalu tentu saja Ranu, si tokoh utama. Laki-laki yang berasal dari keluarga berkecukupan, tapi memiliki orang tua yang rumah tangganya dibangun tanpa cinta. Seperti halnya Ayuni dan Irene, Ranu pun memiliki luka menganga yang berasal dari kehilangan orang tercintanya, yaitu Aida Rinapuspita Giri yang juga biasa disapa Ai. Sampai disini, saya merasa novel ini jauh lebih cocok diberi judul Ai karna tiga tokoh yang ‘kebetulan’ punya nama sapaan sama (tapi beda).

Kehilangan itulah yang akhirnya justru membuat mereka tersambung. Ranu yang seperti menemukan kembali keanggunan seorang Ai dalam diri Ai (Irene). Dan Irene yang menyadari bahwa ada sebelah hatinya yang kosong dan butuh sosok pendamping. Meski akhirnya ia sadar bahwa cintanya pada almarhum suaminya belum mampu tergantikan. Lalu perkenalan dengan Ayuni lewat sebuah proyek semidokumenter berlatar Baduy yang membuat ingatannya terbang pada satu masa di mana mereka pernah bertemu.

Saat hendak memulai membaca novel ini, saya tidak punya bayangan akan seperti apa gaya penceritaannya. Selain karna ini baru kali ini saya membaca novel yang ditulis secara duet, ini juga pertama kalinya saya membaca karya kedua penulis ini – Ifa Avianty dan Azzura Dayana, meski nama mereka sudah sangat sering saya dengar.

Jujur saya tercengang saat telah mulai menyusuri tiap lembarnya, saya agak tercengang. Dengan label Novel Islami yang ada di sampul depannya, novel ini bisa dibilang bukan novel islami yang mainstream. Benar-benar sangat berbeda dari novel islami yang beberapa tahun belakangan ini ada di pasaran. Gaya penceritaan yang teramat santai dan ringan, membuat pembaca novel ini tidak akan merasa digurui. Pun jika pembacanya adalah orang yang benar-benar masih awam tentang islam, novel ini tidak akan membuatnya mengerutkan kening karna tidak paham.

Meski karna gaya bahasa yang teramat santai itu pula saya jadi merasa pesan kebaikannya masih kurang menonjol. Belum lagi istilah serta sapaan yang sering digunakan para tokoh dalam dialog cenderung ada yang saya rasa terlalu kasar dan urakan. Narasi yang menyelingi dialog juga kadang terasa seperti main-main dan tidak serius. Saya juga cukup jengah saat sampai di hal. 270-271 dimana Ay dan Dios sedang berbincang melalui whatsapp yang cukup panjang, tanpa diselingi narasi. Belum lagi banyaknya kutipan lirik lagu yang menurut saya tidak punya arti penting dalam cerita.

Oh ya, saat membaca synopsis di sampul belakangnya, saya mengira akan ada adegan-adegan proses pembuatan film tentang Baduy di dalamnya. Ternyata? Sama sekali tidak ada. Saya jadi merasa ide tentang pembuatan film bertema Baduy itu tidak lebih dari sekedar tempelan sebagai jembatan bagi pertemuan kembali Ranu dan Ayuni. Ah, entahlah. Mungkin penialaian ini jauh dari objektif (meski saya berusaha sekali untuk objektif), dan semata didominasi oleh minimnya pengetahuan saya.

Tapi bukan berarti novel ini tidak punya kelebihan. Selipan tentang keunikan budaya Badui yang masih alami, keindahan Danau Ranu Kumbolo, dan selipan pengetahuan tentang fotografi menjadi beberapa hal yang bisa diserap dari novel ini. juga tentang pencarian Cinta Sejati saat hati mulai terasa hampa.

Kamis, 23 Januari 2014

Geek In High Heels: Chicklit Renyah dan Menghibur



“Hai... nama saya Athaya. Seorang web designer. Yup, saya memang geek, tapi saya juga stylish, suka koleksi high heels dan memadankannya dengan cat kuku. Saya sedang cari pacar calon suami. Kalau kamu tertarik, feel free to comment ya. Oh ya, umur saya 27 tahun. Sekarang kamu ngerti kan kenapa saya membuat iklan cari jodoh seperti ini? yes, I’m absolutely pathetic. Problem?!”

Eits, tentu saja itu bukan tulisan saya. Itu sedikit cuplikan synopsis di sampul belakang buku yang baru selesai saya baca! sebuah chicklit karya Mbak Octa NH yang berjudul “Geek in High Heels”, dan nggak sabar untuk langsung menulis kesan saya terhadap buku ini. Ini karya Mbak Octa yang saya baca.

Setelah sekian lama nggak pernah lagi baca chicklit (kalo nggak salah terakhir SMA), Geek in High Heels ini sama sekali nggak mengecewakan. Ringan, renyah, menghibur. Satu lagi, saya selalu suka pada buku yang bikin saya jadi tahu tentang hal-hal yang sebelumnya belum saya tahu. Untuk chicklit yang satu ini, saya jadi tahu tentang apa itu istilah “geek”.

Kisah cinta (segitiga) yang manis, tapi nggak di lebay antara Athaya-Ibra-Kelana bikin saya senyum-senyum sendiri waktu baca, sekaligus gemes sama Athaya. Aduuuh, Ibra itu tipe laki-laki yang… eemm, terlalu sayang deh dilewatkan, apalagi disakiti :(

Tapi emang sih menjalani hubungan kaya’ gitu kok sepertinya jadi mirip rutinitas ngantor. Monoton, membosankan, nggak menarik. Jadi Athaya nggak salah banget lebih tertarik sama Kelana yang spontan, romantic dengan caranya, dan penuh kejutan. Kalao saya jadi Athaya sih kayaknya juga bakal susah banget ngambil keputusan.

Jadi, Athaya akhirnya pilih siapa? Ibra yang mapan, ganteng, flamboyant… atau Kelana yang brondong, (hanya) penulis, suka muncul dan ngilang sesukanya? Baca sendiri dong yaaa… nggak nyesel InsyaAllah kalo lagi ngrasa butuh bacaan yang menghibur tapi nggak garing.

**Oh ya, saya suka cara Ibra maupun Kelana nembak Athaya. Hihihi… info nggak penting, abaikan!!!

Selasa, 21 Januari 2014

Perjalanan Hati: Perjalanan Menemukan Keyakinan dengan Menapak Masa Lalu



Masa lalu merupakan bagian dari hidup setiap orang. Ada yang hitam, ada yang putih, ada pula yang abu-abu. Ia ada bukan untuk dikubur atau dilupakan, apalagi dirutuk dan disesali. Tapi justru bisa menjadi bahan renungan bagi kita, agar tak mengulangi kesalahan yang ada, atau mensyukuri yang sekarang ada serta menjaganya agar tak berlalu begitu saja. Ada yang bilang masa lalu itu seperti kaca spion mobil bagian dalam, atau spion bagian kiri pada motor. Ia tetap butuh dilihat demi keselamatan, tapi juga tak boleh terlalu lama terpaku padanya karna justru akan membahayakan diri.


Judul: Perjalanan Hati
Penulis: Riawani Elyta
Penerbit: RakBuku
Tebal Buku :  194 halaman
ISBN :  602-175-596-0

Mungkin analogi itu cocok untuk menggambarkan apa yang mengguncang kedamaian rumah tangga Maira dan Yudha dalam novel Perjalanan Hati karya Riawani Elyta ini. Maira yang terguncang hatinya karna baru saja melihat tabir masa lalu suaminya dibuka oleh Donna, yang juga teman mereka semasa kuliah. Maira pun memutuskan untuk menekuri kembali hatinya sendiri melalui sebuah perjalanan backpacker menuju Anak gunung Krakatau, dimana ia tahu bahwa Andri – laki-laki yang menjadi bagian penting dari potongan masa lalunya pun turut serta dalam perjalanan tersebut.

Maira dalam perjalanannya, dan Yudha dalam kesepiannya tanpa Maira, mencoba merenungi segala sesuatunya, juga merenngi tiap tapak perjalanan hati mereka. Mencoba memahami perasaan mereka sendiri, memastikan sekali lagi apakah masih ada sisa-sisa perasaan pada orang-orang di masa lalu yang tertinggal. Dan akhirnya mereka menyadari, bahwa pulang adalah ke hati pasangan sah mereka adalah jawaban.

Novel ini sangat manis dan mengena menurut saya. Cara penulis menggambarkan perasaan tokoh melalui dialog-dialog serta kalimat deskripsi terhitung amat berhasil membawa pembaca turut terbawa emosinya. Saya seperti bisa turut merasakan kegalauan Maira serta perih hatinya saat mengetahui masa lalu Yudha yang baru sekarang diketahuinya. Begitu juga kesepian Yudha serta rasa berdosanya, pun dengan perasaan Donna dan Andri. Saya juga sempat dibuat geram oleh sikap Yudha yang terlalu pasrah membiarkan istrinya pergi, padahal ia tahu ada lelaki masa lalu yang juga ikut dalam perjalanan tersebut. Huh, suami macam apa itu?!

Tapi saya tidak cukup berhasil membangun gambaran tentang sosok dan karakter mereka. Penggambaran fisik tokoh cukup minim, terutama Maira. Sosok Maira yang terbentuk dalam benak saya adalah sosok yang terlalu lembut dan kalem untuk ukuran mantan ‘anak gunung’ seperti yang selama ini sering saya jumpai. Suasana perjalanan ala backpacker dan penggambaran ke-eksotisan Gunung Anak Krakatau juga kurang bisa saya rasakan. Tapi mungkin karna saya terlalu fokus ‘merasai’ perasaan Maira sebagai wanita.

Novel ini mungkin bisa dijadikan pelajaran bagi yang sudah menikah atau akan menikah, bahwa keterbukaan pada pasangan itu sangat penting. Satu lagi yang tidak kalah penting yang juga harus diingat adalah saat konflik tengah mewarnai rumah tangga, menoleh ke masa lalu dan berpikir masa lalu tersebut bisa memberi pencerahan sepertinya merupakan tindakan yang kurang bijak bahkan justru bisa memperkeruh suasana.

Intinya, novel ini sangat patut jadi pilihan sebagai teman menghabiskan waktu luang ditengah hari-hari yang tengah diakrabi hujan seperti sekarang ini.

Rabu, 15 Januari 2014

Betang: Cita yang terbalut Cinta dan Kesederhanaan


Judul            : Betang – Cinta yang Tumbuh dalam Diam
No. ISBN      : 9786080883896
Penulis         : Shabrina Ws
Penerbit       : Elex Media Komputindo

Tak masalah di haluan atau buritan, asal kau, tetap menggerakkan dayungmu!

oOo

semua orang tahu betapa kayanya Bumi Indonesia ini. Tak hanya suumber daya alamnya yang luar biasa melimpah, tapi juga berbagai kebudayaannya yang amat mengagumkan. Sebuah anugerah dari Tuhan sebagai salah satu sumber inspirasi yang dapat terus digali dan diolah menjadi sebuah karya seni.

Seperti novel ini. Betang – Cinta yang Tumbuh dalam Diam, begitu judulnya. Jujur, sebelum membaca novel ini saya tidak tahu apa itu Betang, sebelum akhirnya saya membaca synopsis di sampul belakangnya. Tampilan fisik novel ini amat sederhana. Sesederhana cara berceritanya, tapi tidak dengan pesan-pesan moralnya yang berjejalan dalam tiap kalimatnya.

Novel ini mengisahkan tentang kehidupan Danum, yang sejak kecil tumbuh dalam kesederhanaan dalam rumah betang. Lingkungannya yang berdampingan dengan sungai membuat ia dan keluarganya amat akrab dengan jukung (perahu) dan dayung. Danum jatuh cinta pada dayung  sejak pertama kali ia mendapatkan hadiah sebuah dayung kecil dari kai-nya (kakeknya). Dan ia semakin jatuh cinta, ketika Dehen – teman kecilnya yang juga tinggal di rumah Betang. Danum dan Dehen kecil mulai sering menyusuri sungai-sungai bersama dengan jukung dan dayung kecil mereka. Hingga sebuah mimpi pun terukir dalam benak mereka, bahwa suatu saat mereka akan mengukir prestasi dengan dayung.

Persahabatan mereka akhirnya harus terbentang jarak, ketika Dehen harus pindah dari rumah Betang bersama keluarganya. Meski saling berkirim surat masih mereka usahakan sebagai salah satu penjaga ikatan persahabatan tersebut. Ah, tapi hidup tak pernah semudah itu. Kesibukan toh akhirnya membuat kebiasaan itu melonggar, entah siapa yang lebih sibuk dan tak sempat untuk membalas surat siapa.

Hingga jalan hidup akhirnya membawa langkah kaki Danum ke Pelatnas untuk kembali mengikuti seleksi menjadi atlet pelatnas, setelah sebelumnya ia pernah gagal. Dan di situ-lah ia kembali bertemu dengan Dehen yang prestasinya sudah lebih dulu membumbung. Tapi semua tentu sudah tak sama dengan saat mereka kecil dulu. Dehen telah memiliki kehidupannya sendiri, dimana Danum tak ada di dalamnya.

Novel ini menggunakan alur maju-mundur yang amat manis dan sama sekali tak membuat pembaca menjadi bingung. Selain bertutur tentang kisah cinta anak muda yang tergolong klise – jatuh cinta pada teman kecil, novel ini juga memiliki muatan lain yang membuatnya menjadi novel yang amat patut dibaca oleh semua kalangan.

Bagian yang justru amat saya suka dari novel ini adalah tentang kedekatan Danum dengan keluarganya – kai dan Arba, kakaknya, yang sungguh menyentuh. Saya bahkan sampai menangis tersedu ketika kai meninggal. Yang juga tak kalah menarik adalah sisipan pesan tentang kepedulian untuk turut melestarikan kekayaan alam yang semakin langka.

Pesan moral yang banyak disampaikan melalui percakapan antar tokoh dan quote-quote singkat di setiap awal bab menjadikan novel ini jauh dari kesan menggurui. Beberapa quote yang amat saya suka, diantaranya adalah:

“Kalah itu perlu, agar kau tahu dunia bukan milikmu” (Hal. 25)

“ … ada hal-hal yang tak perlu menunggu kita sempurna untuk melakukannya” (Dehen, Hal. 98)

“Ada aturan yang seakan mengekang, tapi percayalah, dengan peraturan itu, hidup manusia menjadi mudah” (Kai, Hal. 85-86)

Terakhir, saya ingin menyampaikan selamat pada Penulis – Shabrina WS, yang telah berhasil menyelesaikan novel seindah ini. Saya juga angkat topi untuk beliau yang mengambil olahraga dayung yang tidak familiar sebagai tema utama dalam novel ini. Sekali lagi, novel ini amat layak dibaca oleh siapapun yang haus bacaan ringan namun bermutu.