Masa
lalu merupakan bagian dari hidup setiap orang. Ada yang hitam, ada yang putih,
ada pula yang abu-abu. Ia ada bukan untuk dikubur atau dilupakan, apalagi dirutuk
dan disesali. Tapi justru bisa menjadi bahan renungan bagi kita, agar tak
mengulangi kesalahan yang ada, atau mensyukuri yang sekarang ada serta menjaganya
agar tak berlalu begitu saja. Ada yang bilang masa lalu itu seperti kaca spion
mobil bagian dalam, atau spion bagian kiri pada motor. Ia tetap butuh dilihat
demi keselamatan, tapi juga tak boleh terlalu lama terpaku padanya karna justru
akan membahayakan diri.
Judul: Perjalanan Hati
Penulis: Riawani Elyta
Penerbit: RakBuku
Tebal Buku : 194 halaman
ISBN : 602-175-596-0
Mungkin
analogi itu cocok untuk menggambarkan apa yang mengguncang kedamaian rumah tangga
Maira dan Yudha dalam novel Perjalanan Hati karya Riawani Elyta ini. Maira yang
terguncang hatinya karna baru saja melihat tabir masa lalu suaminya dibuka oleh
Donna, yang juga teman mereka semasa kuliah. Maira pun memutuskan untuk
menekuri kembali hatinya sendiri melalui sebuah perjalanan backpacker menuju
Anak gunung Krakatau, dimana ia tahu bahwa Andri – laki-laki yang menjadi
bagian penting dari potongan masa lalunya pun turut serta dalam perjalanan tersebut.
Maira dalam
perjalanannya, dan Yudha dalam kesepiannya tanpa Maira, mencoba merenungi
segala sesuatunya, juga merenngi tiap tapak perjalanan hati mereka. Mencoba
memahami perasaan mereka sendiri, memastikan sekali lagi apakah masih ada
sisa-sisa perasaan pada orang-orang di masa lalu yang tertinggal. Dan akhirnya
mereka menyadari, bahwa pulang adalah ke hati pasangan sah mereka adalah
jawaban.
Novel ini
sangat manis dan mengena menurut saya. Cara penulis menggambarkan perasaan tokoh
melalui dialog-dialog serta kalimat deskripsi terhitung amat berhasil membawa
pembaca turut terbawa emosinya. Saya seperti bisa turut merasakan kegalauan
Maira serta perih hatinya saat mengetahui masa lalu Yudha yang baru sekarang
diketahuinya. Begitu juga kesepian Yudha serta rasa berdosanya, pun dengan
perasaan Donna dan Andri. Saya juga sempat dibuat geram oleh sikap Yudha yang terlalu
pasrah membiarkan istrinya pergi, padahal ia tahu ada lelaki masa lalu yang
juga ikut dalam perjalanan tersebut. Huh, suami macam apa itu?!
Tapi saya tidak
cukup berhasil membangun gambaran tentang sosok dan karakter mereka. Penggambaran
fisik tokoh cukup minim, terutama Maira. Sosok Maira yang terbentuk dalam benak
saya adalah sosok yang terlalu lembut dan kalem untuk ukuran mantan ‘anak
gunung’ seperti yang selama ini sering saya jumpai. Suasana perjalanan ala
backpacker dan penggambaran ke-eksotisan Gunung Anak Krakatau juga kurang bisa
saya rasakan. Tapi mungkin karna saya terlalu fokus ‘merasai’ perasaan Maira
sebagai wanita.
Novel ini
mungkin bisa dijadikan pelajaran bagi yang sudah menikah atau akan menikah,
bahwa keterbukaan pada pasangan itu sangat penting. Satu lagi yang tidak kalah
penting yang juga harus diingat adalah saat konflik tengah mewarnai rumah tangga,
menoleh ke masa lalu dan berpikir masa lalu tersebut bisa memberi pencerahan
sepertinya merupakan tindakan yang kurang bijak bahkan justru bisa memperkeruh
suasana.
Intinya,
novel ini sangat patut jadi pilihan sebagai teman menghabiskan waktu luang ditengah
hari-hari yang tengah diakrabi hujan seperti sekarang ini.
Terima kasih rosa untuk reviewnya, tetaplah beri aku saran masukan untuk semua novel2ku, aku sangat menghargainya sbg bhn evaluasi :-)
BalasHapusSama-sama Mbak Lyta :)
BalasHapusSelalu suka dan penasaran sama novel-novelnya Mbak Lyta :)
Resensinya apik mbak. Fair. Walau mengkritik, tetap manis :)
BalasHapus