Pages

Kamis, 11 Juni 2015

12 Menit: Suka Duka Marching Band Bontang Pupuk Kaltim Demi Bisa Tampil di Grand Prix Marching Band


 Judul Novel: 12 Menit
Penulis: Oka Aurora
Penerbit: Noura Books
ISBN: 978-602-7816-33-6



12 Menit bercerita tentang Marching Band Bontang Pupuk Kaltim. Tentang orang-orang di dalamnya yang mengerahkan sebaik-baik usaha demi membuat marching band mereka dilirik Ibukota. Meski jalannya terjal, duri bertebaran, dan liku seperti tak ada ujungnya. Berbagai rintangan yang tak jarang membuat mereka goyah, bahkan sempat memilih hendak menyerah.


Adalah Rene. Seorang gadis yang sudah terjun sebagai anggota marching band sejak masih SMA. Lalu minatnya pada bidang itu semakin mengakar kuat sejak orangtuanya mengirimnya kuliah di Fakultas Music Education and Human Learning di Amerika. Di Amerika, Rene pun berhasil menjadi salah satu anggota marching band, bahkan prestasinya terus melejit hingga mencapai salah satu posisi penting dalam world class corps. Sekembalinya ke Jakarta, Rene melatih marching band milik sebuah perusahaan. Hingga akhirnya hatinya tergugah untuk membantu Marching Band Bontang Pupuk Kaltim untuk melejitkan diri dengan menjadi pelatih mereka. Rene tahu persis, melatih anak-anak Bontang akan sangat jauh berbeda dengan melatih anak-anak di Jakarta. Terutama dalam hal mental. Tapi Rene tetap tidak menyangka bahwa ia harus melewati babak-babak dramatis dan mengaduk-aduk perasaan demi membawa Marching band Bontang Pupuk Kaltim menuju GPMB (Grand Prix Marching Band) di Jakarta.

Selain Rene, ada beberapa tokoh penting lain dalam novel 12 Menit ini. Tokoh-tokoh dengan keistimewaan masing-masing, yang membuat novel ini semakin sarat dengan permainan emosi.

Tokoh pertama yang sangat menarik hati saya adalah Tara. Tara adalah seorang anak yang mempunyai keterbatasan pendengaran, sejak mengalami kecelakaan beberapa tahun silam – yang sekaligus merenggut nyawa ayahnya. Ia menjadi anak yang sangat tertutup dan minder sejak saat itu. Kadang tak terkontrol emosinya. Terlebih ia merasa sendiri, karna ibunya memutuskan untuk melanjutkan studi ke luar negeri, sehingga Tara hanya tinggal bersama kakek dan neneknya di Bontang. Kakek dan Nenek Tara amat sabar dan menyayangi Tara. Mereka tak lelah membesarkan hati Tara, hingga akhirnya Tara bersedia bergabung dengan Marching Band Bontang Pupuk Kaltim. Meski punya keterbatasan pendengaran, Tara sangat menguasai nada-nada snare drum. Namun tak ayal, Tara tetap tak terhindarkan dari kesalahan-kesalahan, yang kadang tak bisa ditolerir oleh idealisme Rene. Pada suatu hari, saat hari dihelatnya GPMB semakin dekat, Tara membuat kesalahan. Sialnya, Rene tak bisa mengendalikan emosinya. Rene marah, dan mengucapkan kalimat yang mengiris sisi paling sensitif hati Tara.

“Terngiang-ngiang terus suara Rene yang keras tadi. Kalau telingamu tak bisa dipakai, pakai matamu! Dan, pakai hatimu!” (Hal 142)

Tara marah. Ego dan hatinya tidak terima. Ia mogok dari marching band. Memilih mengunci diri di kamar, dan menutup telinga dari semua nasehat kakek-neneknya.

“Kadang-kadang, hidup itu, ya, kayak gitu, Dek. Kayak dorong mobil di tanjakan,” jelas Opa, “susah. Berat. Capek. Tapi, kalau terus didorong, dan terus didoain, insya Allah akan sampai.” (Hal 160)

Lalu ada Elaine. Gadis pemain biola dari Ibukota yang dengan berat hati harus mengikuti orangtuanya pindah ke Bontang, karena ayahnya yang merupakan pejabat di Pupuk Kaltim dipindahtugaskan ke Bontang. Elaine sedih. Berat sekali meninggalkan kelompok musiknya di Jakarta. Di Bontang, demi memenuhi hasrat bermusik Elaine, ia bergabung dengan Marching Band Bontang Pupuk Kaltim. Meski awalnya ayahnya menentang keras keinginan Elaine itu. Bagi ayahnya, hal itu sama sekali tidak penting dan hanya membuang-buang waktu. Ayahnya ingin Elaine hanya belajar, belajar, belajar agar kelak menjadi ilmuan. Saat akhirnya mengijinkan Elaine bergabung dengan marching band, ayahnya mensyaratkan beberapa hal, yang jika Elaine melanggarnya, maka jangan harap ia masih bisa ada dalam marching band tersebut. Hingga akhirnya, saat tenggat waktu GPMB semakin tipis, Elaine melakukan pelanggaran. Ayahnya berang. Elaine tidak lagi diperbolehkan ikut marching band, padahal ia merupakan pemegang posisi penting.

Dan satu lagi tokoh yang kehadirannya membuat novel ini semakin mengaduk-aduk perasaan, yaitu Lahang. Ia adalah seorang anak dari pedalaman. Rumahnya nun jauh, dan setiap hari harus ia tempuh dengan berjalan demi untuk latihan. Lahang cinta pada marching band. Terlebih dengan bergabung dengan marching band ia bisa melihat salah satu mimpi terbesarnya, sekaligus janjinya pada ibunda yang telah tiada seperti di depan mata. Mimpi melihat Tugu Monas dengan matanya sendiri. Namun langkah Lahang tak mudah. Ia goyah. Ketika kondisi kesehatan ayahnya semakin menunjukkan penurunan. Ia amat tak ingin jika saat ayahnya akhirnya tiada, ia tak ada di sampingnya. Persis seperti saat ia kehilangan ibunda. Namun garis kehidupan memaksa Lahang untuk berani menentukan pilihan. Berangkat ke Jakarta untuk membayar lunas ratusan menit latihan melalui GPMB sekaligus melihat Tugu Monas, atau tetap tinggal di samping sang ayah yang tinggal menunggu waktu meregang nyawa?!

Novel 12 Menit menurut saya mirip dengan novel Laskar Pelangi. Bercerita tentang perjuangan anak-anak bangsa untuk meraih apa yang mereka cita. Bercerita tentang perjuangan mengalahkan diri sendiri, yang tanpa sadar seringkali dijajah rasa tak percaya diri. Bahasanya ringan, mudah dicerna, dan berisi banyak sekali nasehat tanpa terasa menggurui pembaca. 5 dari 5 bintang untuk novel ini.

Ah ya, ada kutipan yang paling saya suka dalam novel ini:

“Orang-orang Dayak tak terbiasa menyampaikan simpati dengan kata-kata. Atau dengan sentuhan. Jika ada yang meninggal seperti ini, orang Dayak tak akan berbondong-bondong berusaha menghibur yang berduka. Apalagi dengan kalimat-kalimat penghiburan yang sangat standar, seperti, “Sabar, ya, semua ini pasti ada maksudnya.” 
Semua orang yang pernah ditinggal mati orang terdekatnya, pasti pernah punya kesadaran ini: bahwa dia memang sedang bersabar, karena kalau dia tak sabar, dia pasti sudah gila. Semua proses berduka seperti menangis, meraung, menangis lagi, itu adalah bagian dari upaya menyempurnakan sabar. Orang-orang Dayak paham betul itu” (Hal 103)