Judul : The Time keeper (Sang Penjaga Waktu)
Penulis : Mitch Albom
Alih Bahasa : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman : 312
halaman
“Tidak
pernah ada kata terlambat atau terlalu cepat, semuanya terjadi pada waktu yang
telah ditetapkan” (Hal. 232)
Jaman sekarang, hidup berkejaran dengan
waktu sepertinya sudah menjadi gaya hidup. Slogan ‘waktu adalah uang’ menjadi
salah satu slogan yang menjelma menjadi prinsip sebagian orang. Buku-buku
bahkan seminar tentang cara mengefektifkan waktu, manajemen waktu, dll menjadi
salah satu tema popular yang selalu diminati oleh banyak orang.
Orang-orang berlomba untuk membuat hidup
mereka sesibuk mungkin agar dapat meraih pencapaian yang lebih dari yang
lainnya. Mereka mengesampingkan kebahagiaan dan ketentraman hati. Tapi semakin
banyak yang mereka raih, mereka semakin tidak puas dan terus berharap memiliki
jauh lebih banyak waktu lagi untuk membuat pencapaian yang jauh lebih dahsyat
lagi.
Tapi apa semua orang seperti itu?
Sepertinya tidak. Dunia ini ibarat dua sisi keeping mata uang. Jika ada
orang-orang yang selalu haus akan waktu yang jauh lebih banyak, maka di sisi
lainnya ada orang-orang yang melihat dunia ini dengan cara yang amat muram.
Mereka menganggap bahwa tak lagi ada hal berharga dan menarik yang membuat
mereka pantas melewati waktu di dunia ini lebih lama lagi. Mereka berharap
waktu akan segera berakhir. Dan ironisnya, hal itu biasanya disebabkan hanya
oleh perkara-perkara remeh yang sebenarnya sama sekali tidak sebanding dengan
kenikmatan yang diberikan Tuhan untuk masih bisa melewati waktu.
Novel The Time Keeper karya Mitch Albom
ini bercerita tentang realita diatas. Adalah Dor, seorang laki-laki yang sejak
usianya masih belia sudah sangat tertarik pada perhitungan waktu. Ia adalah
orang pertama di dunia yang ‘bisa’ menghitung kapan matahari terbit dan kapan
tenggelam. Kapan musim berganti, dll. Ia
mulai melakukannya dengan alat-alat sederhana. Salah satunya dengan
tetesan air, juga batu. Hingga saat ia sudah semakin mahir menghitung waktu, ia
akhirnya menjadi pemrakarsa terciptanya jam di dunia.
Atas kesukaan dan kemahirannya
menghitung-hitung waktu – yang lambat laun mampu mengubah dunia dan perilaku manusia-manusia
di dalamnya, Dor adalah orang pertama yang pernah mengharapkan punya waktu tak
terbatas agar ia bisa selalu bersama Alli istri tercintanya, sekaligus pernah
menjadi orang yang tak lagi berharap punya waktu setelah Alli meninggal. Dor
akhirnya ‘dihukum’. Ia diberi waktu tak terbatas. Usianya tak bertambah
sedikitpun, lalu ia ‘dilemparkan’ lagi ke dunia yang sudah sangat jauh dari
masanya dulu, dan sangat asing baginya. Dor diberikan sebuah misi untuk memberi
pelajaran pada manusia-manusia yang berharap memiliki waktu tak terbatas, dan
pada mereka yang berharap tak lagi memiliki waktu sedikitpun.
Dor akhirnya dipertemukan dengan seorang
pengusaha sukses dan kaya raya bernama Victor dan gadis belia bernama Sarah.
Victor mewakili kubu orang yang haus akan waktu dan terus berharap memiliki
waktu tak terbatas. Sedangkan Sarah mewakili kubu orang yang berharap waktu
berhenti.
Victor mengidap sebuah penyakit yang
membuatnya tak lagi memiliki banyak waktu. Dokter sudah tidak tahu lagi harus
melakukan apa untuk menyembuhkan Victor. Yang masih bisa dilakukan hanyal
melakukan cuci darah untuk setidaknya mengulur waktu, meski mungkin tak
seberapa. Dan Victor tidak puas dengan itu. Sifatnya yang ambisius dan tidak
mudah puas membuatnya ingin ‘mengakali’ takdirnya. Ia mengerahkan segala daya
dan upayanya, dengan melibatkan para peneliti, untuk bisa dihidupkan lagi suatu
saat. Ya, Victor berusaha untuk mengakali takdir kematiannya sendiri.
“Selalu
ada pencarian untuk mendapatkan lebih banyak menit, lebih banyak jam, kemajuan
lebih cepat untuk menghasilkan lebih banyak setiap harinya. Kebahagiaan
sederhana dalam menjalani hidup antara dua matahari terbit tidak lagi
dirasakan” (Hal. 290)
Sedangkan Sarah, seorang gadis dengan
wajah dan bentuk tubuh kurang menarik, tidak memiliki banyak teman dan
pergaulan, untuk pertama kalinya jatuh cinta pada temannya yang bernama Ethan.
Ia merasa amat senang ketika Ethan bersikap baik padanya, dan menganggap itu
merupakan pertanda bahwa Ethan juga jatuh cinta padanya. Sarah terus
menghitung-hitung waktu untuk tak sabar segera bertemu dengan Ethan. Ia selalu
berusaha melakukan apa saja untuk membuat Ethan merasa senang.
Hingga saat
Sarah memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu, sembari memberikan
kado berupa jam tangan mahal yang sangat diidamkan Ethan, kenyataan pahit harus
ditelan oleh Sarah. Ternyata ia keliru. Ethan tak sedikitpun menaruh perasaan
padanya. Sarah sedih. Dan ia makin hancur kala melalui media social Ethan
mengumumkan bahwa Sarah – sanga gadis ‘menjijikkan’ – telah menyatakan cinta
padanya, lalu dikomentari oleh puluhan teman Sarah dengan komentar-komentar
yang amat pedih bagi Sarah. Saat itulah ia berharap waktu berhenti. Dan Sarah
memilih bunuh diri sebagai cara untuk mewujudkan hal itu.
Dan Dor hadir untuk mereka, sebelum misi
mereka tersebut benar-benar terpenuhi. Dor membuat mereka tercengang dan
akhirnya sadar bahwa tidak seharusnya mereka berharap waktu tanpa batas,
ataupun waktu berhenti, karna semuanya sudah sesuai takarannya masing-masing.
“Ada
Sebabnya Tuhan membatasi hari-hari kita”
“Mengapa?”
“Supaya
setiap hari itu berharga” (Hal. 288)
ngebayangin usia Dor yang panjang bikin mikir, dia ngapain aja ya di gua, hehe :D Ternyata emang waktu menjadi masalah yang sering dikeluhkan manusia ya, cha. Ada yang pengen dipercepat ada yang diperlambat. Padahal setiap waktu seharusnya disyukuri.
BalasHapushihi, di novel sih cuma dibilang si dor menagis, merenung dan meratap kan mbak kalo gak salah?
HapusIya, menohok banget yaa... kita hobi banget ngitung2 waktu ampe lupa bersyukur atas waktu itu sendiri...